Pembangunan Berbasis Masyarakat
INSPIRASI kali ini mengangkat profil sebuah dusun di Desa Sunyalangu,
Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Cibun, begitulah nama dusun
tersebut, atau dikenal warga Banyumas sebagai Grumbul Cibun. Dari Cibun,
kita dapat belajar mengenai upaya pembangunan berbasis masyarakat, termasuk
menjaga ekosistem lingkungan.
Warga Cibun, yang kebanyakan berpendidikan rendah, memiliki kesadaran
tinggi mengenai arti penting pembangunan berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Karena faktor alam, daerah ini selama puluhan tahun terisolasi. Padahal
lokasinya hanya berada sekitar 17 km arah utara Kota Purwokerto, atau 18
km dari pusat Desa Sunyalangu. Luas wilayah sekitar 3 ha, kemiringan 10-40
derajat, dan berada pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut (dpl).
Meski berada di wilayah Desa Sunyalangu, sejatinya Grumbul Cibun terpisah dari desa induknya. Sebab lokasinya berada di tengah hutan damar (pinus) milik PT Perhutani Banyumas Timur. Ada 58 KK (249 jiwa) di dusun itu, yang terbagi menjadi dua RT. Sekitar 52 persen penduduknya bekerja sebagai penyadap getah damar, dan selebihnya buruh lepas.
Menurut Ahmad (55) sesepuh desa, pemukiman Grumbul Cibun sudah ada sejak 1935. Semula daerah ini berada di tengah hutan belantara. Namun suasana mulai berubah setelah PT Perhutani membuka lahan untuk hutan pinus pada tahun 1952. Meski demikian dusun ini tetap sulit diakses.
Tempaan Alam
Untuk mencapai pusat desa, warga harus melalui Desa Baseh di seberang Sungai Logawa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kedungbanteng. Jarak grumbul dengan pusat desa sekitar 20 km. Kalau ditempuh dengan ojek atau angkudes butuh waktu 90-120 menit,
karena kendaraan harus memutar jalur. Menurut warga, ongkos ojek pulang-pergi sekitar Rp 20.000.
Tempaan alam menjadikan komunitas ini amat solid, guyub, memiliki daya hidup (survival) yang tinggi, dan suka bergotong royong dalam menata lingkungan. Semua warga terlibat aktif dalam proses pembangunan permukiman, bahkan masalah pembiayaan.
''Mereka punya tanggung jawab kolektif, dan hal itu muncul pada setiap forum yang diikutinya, baik dalam kerja bakti atau sekadar arisan. Ikatan kekerabatan sangat kuat pada komunitas ini,'' tutur Ketua Bappeda Banyumas, Ir Hudi Utami MM.
Hal itu nampak saat mereka membuat sarana dan prasarana desa seperti jalan desa, pembangunan jembatan dan sarana fisik lain. Modal dasar inilah yang diarahkan Pemkab untuk membuka dusun tersebut, yang diawali dengan membangun jembatan gantung yang melintasi Sungai Tajum.
Dana pembangunan diambilkan dari pos APBD (Rp 350 juta), selebihnya merupakan swadaya masyarakat. Pada pertengahan 2004, jembatan sudah bisa difungsikan. Tetapi jembatan selebar 4 meter lebar, dengan panjang sekitar 180 meter, itu tidak seketika bisa membuka wilayah ini dari keterisolasian.
Soalnya warga masih harus membuat jalan penghubung. Sebelumnya jalur menuju Desa Baseh masih berupa jalan setapak di atas tanah milik warga Grumbul Rabuk Desa Baseh. Sedangkan di seberang jembatan (barat) jalannya lewat pematang sawah dan perbukitan milik warga Cibun.
Warga kemudian patungan untuk membeli tanah warga Grumbul Rabuk, untuk pelebaran jalan setapak. Tanah yang dibeli berukuran 4 x 480 meter, seharga Rp 68 juta. Setelah itu warga harus bekerja bakti melakukan pengerasan jalan. ''Untuk menopang biaya, warga yang keluarganya menjadi TKI di luar negeri menyumbang lebih besar,'' ujar Kades Mukson.
Beberapa proyek lain pun digulirkan, mulai dari pengadaan jaringan listrik (bekerja sama dengan PLN), pengadaan jaringan air bersih perpipaan sepanjang 900 meter dari mata air lereng Gunung Slamet, hingga penataan permukiman.
Tata permukiman yang dikelola sendiri oleh warga juga terlihat apik dan rapi. Kebanyakan rumah dibangun secara sederhana, disesuaikan dengan alam sekitar, dan berkesan longgar. Setiap rumah bersifat tunggal, ada pembagian ruang sebagaimana rumah-rumah di kota dan sanitasi terpisah.
Mereka juga memiliki persepsi yang positif terhadap ekosistem lingkungannya. Tata lingkungan, yang dilakukan sendiri oleh warga, disesuaikan dengan kontour tanah. Lahan pekarangan dibuat terasiring, kemudian ditanami pohon-pohon produktif seperti albasia dan aneka tanaman buah.
Dalam evaluasi Pemkab, masyarakat Grumbul Cibun bisa tumbuh tanpa intervensi pemerintah. Ternyata pembangunan berbasis masyarakat mampu menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif dalam mengembangkan permukiman secara mandiri.
Pantas kalau Grumbul Cibun ditetapkan sebagai juara pertama Lomba Permukiman Berkelanjutan Tingkat Jateng 2004, yang digelar Dinas Permukiman dan Tata Ruang Provinsi Jateng, dalam rangka peringatan Hari Habitat Internasional. (48)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar