Selasa, 24 Januari 2012

Kisah 30 Tahun Perjuangan Meraih Jembatan di Kaki Gunung Slamet

13195012211376251777
Jembatan yang menjadi impian waga Cibun selama 30 tahun lebih akhirnya mewujud
Pertama kali kujejak tanah grumbul ini tahun 2003, tak butuh waktu lama untuk mencintainya dan bergelut dalam hidup dan kehidupan warganya. Keindahan, keaslian, kesederhanaan dan kesetiaan pada mimpi terpancar dari wajah-wajah penghuninya. Lebih dari tigapuluh tahun mereka meretas jalan melepas keterisoliran, tak peduli betapa acuhnya negara, tak peduli betapa banyak orang mencibir usaha mereka.
Grumbul, istilah yang dipakai penduduk Banyumas dan sekitarnya untuk menyebut satuan warga yang hidup mengelompok di tempat tertentu. Secara administrasi pemerintahan Grumbul tidak diakui secara khusus, namun kira-kira Grumbul sebanding dengan istilah dusun, sebuah desa biasanya terdiri dari beberapa grumbul. Cibun masuk dalam wilayah Desa Sunyalangu, Kecamatan Karang Lewas Banyumas. Cibun adalah sala satu permukiman terakhir warga sebelum masuk kawasan hutan Gunung Slamet.
***
Pagi yang belum rekah, selimut tipis khas daerah pegunungan masih menjalar rapat, kicauan burung-burung kecil menjadi penanda hari menyambut kami. Satu setengah jam berkendara dari Purwokerto ke Cibun, bagi pengendara motor handal sebenarnya bisa ditempuh kurang dari itu, tapi medan yang menanjak tiada henti ditambah banyak titik jalan hancur maka 1,5 jam bukan catatan waktu yang buruk.
Lebih dari 30 warga, tua muda, laki-laki perempuan berkumpul pagi itu, bergerak bersama. Sebagian bertugas meratakan tanah dengan cnagkul sederhana, sebagian membelah batu kali yang besar alang kepalang menjadi batu-batu kecil, sebagian lagi bertugas mengangkat batu yang telah dipecah. Pagi itu adalah pagi bersejarah, pagi itu adalah pagi yang kelak mengubah Cibun. Bahagia rasanya menjadi bagian dari sejarah Cibun.
Inilah rekaman catatan kali pertama warga Cibun berikhtiar membangun sendiri jalan menuju desa tetangga, tak kurang dari dua kilometer jalan mereka banguns endiri dengan kekuatan hati dan perjuangan tiada henti. Pemerintah melalui pemrintah desa ketika itu hanya memebrikan bantuan 17 juta, padahal biaya yang dibutuhkan lebih dari 200 juta.
13195013231894464767


Inilah jalan setapak yang dibangun swadaya oleh warga Cibun
Mereka membebaskan sendiri tanah yang sebagian besar bukan milik mereka, mereka bangun sendiri jalan mungil itu dengan airmata dan keringat, dua warga harus dirawat intensif di Rumah sakit dan satu orang tewas terjatuh dari bibir sungai Logawa dan menghempas batu selama proses membangun jalan dan jembatan.
Sejarah Melawan Keterpisahan Geografis dan Sosial
Sejarah Cibun adalah sejarah perjuangan melawan keterisoliran. Disini, tak lebih 500 KM dari ibukota dan sekitar 30 KM dari Kota Purwokerto, sekelompok warga sejak tahun 70-an awal telah merintis langkah membebaskan diri dari keterpisahan geografis. Hingga tahun 2004 tak ada satupun kendaraan bermotor pernah sampai di Grumbul ini, kami menyebutnya “negeri tak kenal asap knalpot
Tak hanya keterpisahan geografis merekapun mengalami keterpisahan sosial, stereotip “wong deeki” juga melekat pada mereka. Deeki adalah julukan bagi mereka yang dianggap pelarian DI-TII. Keterisoliran geografis dan sosiologis itulah yang puluhan tahun mereka lawan.
1319501394732677120

Jembatan buatan warga yang tiap kali Logawa meluap jembatanpun hanyut
Kondisi grumbul ini memang unik, dari pusat Desa Sunyalangu mereka dipisahkan hutan pinus yang memanjang lebih dari 10 KM, satu-satunya solusi adalah berjalan kaki. Medan yang berat, kondisi hutan yang sebagian masih hutan alam dan sebagian hutan industri membuat mereka sangat sulit menjangkau Sunyalangu apalagi bagi anak-anak untuk bersekolah.
Setelah lelah berjuang membuka keterisoliran melalui jalur Sunyalangu, pada awal 80an mereka mulai mengupayakan rute baru, yaitu rute Semaya dan Rute Rabuk. Masalah terbesarnya adalah Sungai Logawa yang membentang gagah menjadi penghalang mereka membuka keterisoliran. Semaya adalah desa terdekat ke arah Utara, sedangkan Rabuk adalah dusun yang paling bersebelahan dengan Cibun.
Keperkasaan Logawa tak menyurutkan langkah mereka, dengan kesederhanaan dan semangat mereka melobi pemerintah kecamatan, pemerintah desa sampai ke Perhutani mereka lobi untuk membantu mereka menghadirkan sebuah jembatan. “..kepriwe maning mas, gemiyen apa baen wis dijajal, langka hasile”, itulah jawaban Pak Riswandi, pulisi desa. Gelar ini itilah bagi seseorang yang dianggap bisa menjembati kepentingan warga Cibun dengan pihak Desa. Pemimpin informal yang mendapat peran formal, kirang lebih begitu.
“Bagaimana lagi mas, dulu semua usaha sudah dicoba tapi tak ada hasilnya” begitu alasan Riswandi dan warga Cibun tiap kali kami tanya usaha mereka mendesak pemerintah untuk membantu pembangunan jembatan. Sakitnya ditolak dan dipermainkan telah menjadi kisah klasik buat mereka, janji dan janji silih berganti teringkari. Tapi tak pernah surut langkah apalagi menyerah. “Pokoke, kudu ana gilih mas, bocahan yo harus sekolah, gula kelapa kudu digawah nang pasar ben regane iso munggah”, itulah harapan Pak Yanto, sesepuh desa yang menjadi bagian sejak awal perjuangan membuka keterisoliran.
Jembatan bambu sederhana dengan kawat sling akhirnya mereka bangun, namun apa daya tiap musim hujan tiba, manakala Sungai Logawa meluap dahsyat jembatan bambupun kelii, hanyut. Tak sedikit warga yang jatuh dari jembatan bambu itu, puluhan tahun mereka menggunakan jembatan bambu sederhana itu sebagai pengikat diri dengan dunia luar.
Sebuah Awal Perjuangan Baru
Awal 2004, warga Cibun akhirnya memutuskan sebuah langkah baru. “Demo” langsung ke DPRD Banyumas. Tentu ini bukan demo atau unjuk rasa a la mahasiswa, tapi demo warga yang dengan keluguan dan semangatnya, jangankan orasi berbicara di depan umum saja bukan perkara mudah bagi warga. Pertama kali cara ini ditawarkan pro kontra muncul. Rasa takut, norma kesopanan dan juga prihal biaya menjadi pertimbangan ketika itu, akhirnya setelah melakukan berbagai persuasi dan diskusi panjang jalan inipun ditempuh. Disepakati sekitar 30 warga, perempuan dan laki-laki akan dating langsung ke DPRD dua hari setelah itu.
Kisah di hari aksi…
Hari itu bertepatan dengan ujian akhir semester. Jarum pendek jam dinding kelas pelan mendekati angka 10, konsentrasi kami makin tak karuan. Kertas berserak di meja rasanya tak lagi mampu mencegah langkah. Meski ujian semua terisi meskipun asal dan waktu masih panjang, langkahpun kami pacu. Khawatir warga Cibun telah tiba dulu di DPRD.
Jelang pukul sebelas, setengah jam sudah kami menunggu di bawah beringin alun-alun Purwokerto tepat di depan gedung DPRD belum ada tanda-tanda kehadiran warga. Kami makin resah, padahal kesepkatannya jam 8 pagi mereka sudah bergerak dari Cibun, kalaupun terlambat jam 10 seharusnya mereka sudah tiba. Jelas tak bisa menguhubungi via HP, tak ada sinyal tak adapula yang punya HP disana.
Sembari menanti kami mencoba mencari tahu agenda anggota dewan dari petugas keamanan gedung. Anggota dewan hati ini diagendakan bertemu perwakilan pedagang Pasar Wage hingga pukul 12. Makin berdetak kencang jantungku, kalau jam 12 mereka belum dating, pasti anggota dewan sudah tidak ada di tempat, karena tak ada agenda lain setelah itu. Bayangan aksi yang gagal telah menyeruak.
Sembari tetap berharap kami tak lelah menanti. Bergelas es the manis dan cilok menemani penantian kami. Jelang 1 siang tetap tak ada tanda-tanda kedatangan mereka. Kami putuskan menyerah dan segera bergerak menuju Cibun mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Sejenak sebelum motor kami pacu keluar gedung DPRD tiba-tiba sebuah mobil carry hijau tiba dan Mas Aries, pemuda Cibun yang begitu dekat dengan kami berteriak memanggil. Hah..tak terkira leganya..akhirnya datang juga. Kecemasan satu pergi, kecemasan lainnya muncul. Apa masih ada anggota dewan masih ada yang mau menemui mereka ?
Tak lama keluar dari mobil, Mas Aris, Pak Yanto, Pak Riswandi, Mas Ngabidin berujar bahwa giline kelii, jambatan hanyut diterjang hujan maalm sebelumnya, hingga hanya mereka yang sanggup menyeberangi sungai dengan seutas slinglah yang bisa hadir siang itu, Meleset dari rencana, hanya sembilan warga yang hadir.
Benar dugaan kami, sebagian besar anggota dewan yang jumlahnya 45 orang itu sebagian besar telah pergi. Sementara warga menunggu di ruang tunggu dewan di bawah tatapan curiga petugas keamanan, saya dan dua orang rekan mencoba melobi seorang anggota dewan dari komisi E yang tersisa. Meski bukan anggota komisi yang tepat, kami tak mau ambil peduli. Akhirnya Pak Abas bersedia mendengar keluh kesah warga Cibun. Bukan di ruang komisi tpai ruang tunggu. Berurai airmata satu persatu warga Cibun yang hadir mengutarakan kisah mereka, puluhan tahun terpisah. Seolah bukan bagian bangsa.
Kisah mengenai mimpi hadirnya jembatan permanent, kenangan penuh pedih saat banyak warga yang jatuh dari gili dan kesedihan-kesedihan lain yang puluhan tahun mereka rasakan akahirnya mengalir deras.
Hari itu adalah pangkal dari sejarah baru Cibun dengan segala keterpisahan geografis dan sosilogis mereka.
Hadirnya Sebuah Jembatan Merah..
Bermula dari “demo” sembilan orang itulah dan beberapa kali kunjungan anggota dewan akhirnya pemerintah Kabupaten Banyumas dalam APBD perubahan tahun 2004 memutuskan membangun jembatan permanen di Grumbul Cibun.
Saat pertama kali mendapat kabar bahwa jembatan Cibun akan dibangun melintasi Kali Logawa, beratus keceriaan hadir, euphoria melanda warga termasuk juga kami. Sebuah jalan panjang yanga tak mudah telah ditempuh Warga Cibun. Kemandirian mereka mengupayakan sendiri infrastruktur menjadi pertimbangan utama pemerintah daerah membangun jembatan itu.
1319501465924985029
Peresmian jembatan Cibun oleh Wakil Ketua DPRD Banyumas ketika itu
Setelah melintasi waktu pembangunan yang terbilang cepat, karena tenaga kerja melibatkan warga lokal yang tentu saja mengerjakannya dengan sepenuh hati karena inilah impian panjang mereka. Akhir 2004 sebuah jembatan merah berdiri gagah di atas Kali Logawa.
Jembatan yang kelak menghadirkan seorang sarjana pertama dari Cibun, sarjana yang kelak menjadi picu hadirnya sebuah sekolah dasar negeri penuh di Cibun (sebelumnya hanya SD keil Cibun), jembatan yang kelak membuat warga bisa “mencicipi” asap knalpot. Jembatan inipula yang kemudian mendorong warga membangun sebuah masjid, berpuluh anak Cibunpun tak lagi sulit merengkuh mimpi pendidikan mereka.
Perjuangan 30 tahun lebih warga Cibun inipun membawa mereka meraih penghargaan “hari Habitat Sedunia” dari pemeirintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005.
Ironipun hadir..
Enam tahun setelah hadirnya jembatan itu dan empat tahun setelah saya tak pernah lagi berkunjung ke Cibun, tepat Juni 2010 lalu, saya kembali menatapi jembatan merah gagah itu. Sayang cibunpun pelan tapi pasti berubah, jembatan merah gagah itu ternyata tak hanya berkontribusi positif namun telah pula membawa ironi.
Setelah Cibun terbuka, warga tidak hanay berlomba bersekolah tapi juga berlomba membeli kendaraan bermotor roda dua. Bising knalpot kini terhampar. Kini, banyak warga yang mulai menjual tanah mereka ke pihak luar Cibun yang menjadi pertanda kelak mereka akan menjadi petani tanpa lahan. Aktivitas perambaan hutan juga kian menggejala. Padahal dulu CIbun adalah garda terakhir bagi keanekaragaman hayati disini.
Ironi Cibun tak berhenti sampai disana, keterbukaan kian memmbuat banyak perempuan Cibun yang menjadi buruh migran, hasil dari memburuh di negeri asingpun di bawa pulang untuk berlomba membangun “istana” di Cibun. Rokok dan minuman keras telah menjadi “sahabat” pemuda Cibun hari ini.
Tepat di atas jembatan Cibun, senja itu airmataku menetes, meratapi ironi jembatan merah gagah itu. Jembatan yang proses kehadirannya kusaksikan itu..Dulu kami dan warga lupa untuk mempersiapkan mental sebagai konsekuensi dari keterbukaan geografis dan social itu.
Semoga Cibun tan menjadi “negeri” yang latah pada perubahan, menjadi tamu di tanah sendiri, menjadi warga yang kemudian kehilangan jati diri di seret imaji kebendaan. SEMOGA !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar