Pertama kali kujejak tanah grumbul
ini tahun 2003, tak butuh waktu lama untuk mencintainya dan bergelut
dalam hidup dan kehidupan warganya. Keindahan, keaslian, kesederhanaan
dan kesetiaan pada mimpi terpancar dari wajah-wajah penghuninya. Lebih
dari tigapuluh tahun mereka meretas jalan melepas keterisoliran, tak
peduli betapa acuhnya negara, tak peduli betapa banyak orang mencibir
usaha mereka.
Grumbul,
istilah yang dipakai penduduk Banyumas dan sekitarnya untuk menyebut
satuan warga yang hidup mengelompok di tempat tertentu. Secara
administrasi pemerintahan Grumbul tidak diakui secara khusus, namun
kira-kira Grumbul sebanding dengan istilah dusun, sebuah desa biasanya
terdiri dari beberapa grumbul. Cibun masuk dalam wilayah Desa
Sunyalangu, Kecamatan Karang Lewas Banyumas. Cibun adalah sala satu
permukiman terakhir warga sebelum masuk kawasan hutan Gunung Slamet.
***
Pagi
yang belum rekah, selimut tipis khas daerah pegunungan masih menjalar
rapat, kicauan burung-burung kecil menjadi penanda hari menyambut kami.
Satu setengah jam berkendara dari Purwokerto ke Cibun, bagi pengendara
motor handal sebenarnya bisa ditempuh kurang dari itu, tapi medan yang
menanjak tiada henti ditambah banyak titik jalan hancur maka 1,5 jam
bukan catatan waktu yang buruk.
Lebih dari 30 warga, tua
muda, laki-laki perempuan berkumpul pagi itu, bergerak bersama.
Sebagian bertugas meratakan tanah dengan cnagkul sederhana, sebagian
membelah batu kali yang besar alang kepalang menjadi batu-batu kecil,
sebagian lagi bertugas mengangkat batu yang telah dipecah. Pagi itu
adalah pagi bersejarah, pagi itu adalah pagi yang kelak mengubah Cibun.
Bahagia rasanya menjadi bagian dari sejarah Cibun.
Inilah
rekaman catatan kali pertama warga Cibun berikhtiar membangun sendiri
jalan menuju desa tetangga, tak kurang dari dua kilometer jalan mereka
banguns endiri dengan kekuatan hati dan perjuangan tiada henti.
Pemerintah melalui pemrintah desa ketika itu hanya memebrikan bantuan 17
juta, padahal biaya yang dibutuhkan lebih dari 200 juta.
Mereka
membebaskan sendiri tanah yang sebagian besar bukan milik mereka,
mereka bangun sendiri jalan mungil itu dengan airmata dan keringat, dua
warga harus dirawat intensif di Rumah sakit dan satu orang tewas
terjatuh dari bibir sungai Logawa dan menghempas batu selama proses
membangun jalan dan jembatan.
Sejarah Melawan Keterpisahan Geografis dan Sosial
Sejarah
Cibun adalah sejarah perjuangan melawan keterisoliran. Disini, tak
lebih 500 KM dari ibukota dan sekitar 30 KM dari Kota Purwokerto,
sekelompok warga sejak tahun 70-an awal telah merintis langkah
membebaskan diri dari keterpisahan geografis. Hingga tahun 2004 tak ada
satupun kendaraan bermotor pernah sampai di Grumbul ini, kami
menyebutnya “negeri tak kenal asap knalpot”
Tak hanya keterpisahan geografis merekapun mengalami keterpisahan sosial, stereotip “wong deeki” juga melekat pada mereka. Deeki
adalah julukan bagi mereka yang dianggap pelarian DI-TII. Keterisoliran
geografis dan sosiologis itulah yang puluhan tahun mereka lawan.
Kondisi
grumbul ini memang unik, dari pusat Desa Sunyalangu mereka dipisahkan
hutan pinus yang memanjang lebih dari 10 KM, satu-satunya solusi adalah
berjalan kaki. Medan yang berat, kondisi hutan yang sebagian masih hutan
alam dan sebagian hutan industri membuat mereka sangat sulit menjangkau
Sunyalangu apalagi bagi anak-anak untuk bersekolah.
Setelah
lelah berjuang membuka keterisoliran melalui jalur Sunyalangu, pada
awal 80an mereka mulai mengupayakan rute baru, yaitu rute Semaya dan
Rute Rabuk. Masalah terbesarnya adalah Sungai Logawa yang membentang
gagah menjadi penghalang mereka membuka keterisoliran. Semaya adalah
desa terdekat ke arah Utara, sedangkan Rabuk adalah dusun yang paling
bersebelahan dengan Cibun.
Keperkasaan
Logawa tak menyurutkan langkah mereka, dengan kesederhanaan dan
semangat mereka melobi pemerintah kecamatan, pemerintah desa sampai ke
Perhutani mereka lobi untuk membantu mereka menghadirkan sebuah
jembatan. “..kepriwe maning mas, gemiyen apa baen wis dijajal, langka hasile”, itulah jawaban Pak Riswandi, pulisi
desa. Gelar ini itilah bagi seseorang yang dianggap bisa menjembati
kepentingan warga Cibun dengan pihak Desa. Pemimpin informal yang
mendapat peran formal, kirang lebih begitu.
“Bagaimana
lagi mas, dulu semua usaha sudah dicoba tapi tak ada hasilnya” begitu
alasan Riswandi dan warga Cibun tiap kali kami tanya usaha mereka
mendesak pemerintah untuk membantu pembangunan jembatan. Sakitnya
ditolak dan dipermainkan telah menjadi kisah klasik buat mereka, janji
dan janji silih berganti teringkari. Tapi tak pernah surut langkah
apalagi menyerah. “Pokoke, kudu ana gilih mas, bocahan yo harus sekolah, gula kelapa kudu digawah nang pasar ben regane iso munggah”, itulah harapan Pak Yanto, sesepuh desa yang menjadi bagian sejak awal perjuangan membuka keterisoliran.
Jembatan
bambu sederhana dengan kawat sling akhirnya mereka bangun, namun apa
daya tiap musim hujan tiba, manakala Sungai Logawa meluap dahsyat
jembatan bambupun kelii, hanyut. Tak sedikit warga yang jatuh
dari jembatan bambu itu, puluhan tahun mereka menggunakan jembatan bambu
sederhana itu sebagai pengikat diri dengan dunia luar.
Sebuah Awal Perjuangan Baru
Awal
2004, warga Cibun akhirnya memutuskan sebuah langkah baru. “Demo”
langsung ke DPRD Banyumas. Tentu ini bukan demo atau unjuk rasa a la
mahasiswa, tapi demo warga yang dengan keluguan dan semangatnya,
jangankan orasi berbicara di depan umum saja bukan perkara mudah bagi
warga. Pertama kali cara ini ditawarkan pro kontra muncul. Rasa takut,
norma kesopanan dan juga prihal biaya menjadi pertimbangan ketika itu,
akhirnya setelah melakukan berbagai persuasi dan diskusi panjang jalan
inipun ditempuh. Disepakati sekitar 30 warga, perempuan dan laki-laki
akan dating langsung ke DPRD dua hari setelah itu.
Kisah di hari aksi…
Hari
itu bertepatan dengan ujian akhir semester. Jarum pendek jam dinding
kelas pelan mendekati angka 10, konsentrasi kami makin tak karuan.
Kertas berserak di meja rasanya tak lagi mampu mencegah langkah. Meski
ujian semua terisi meskipun asal dan waktu masih panjang, langkahpun
kami pacu. Khawatir warga Cibun telah tiba dulu di DPRD.
Jelang
pukul sebelas, setengah jam sudah kami menunggu di bawah beringin
alun-alun Purwokerto tepat di depan gedung DPRD belum ada tanda-tanda
kehadiran warga. Kami makin resah, padahal kesepkatannya jam 8 pagi
mereka sudah bergerak dari Cibun, kalaupun terlambat jam 10 seharusnya
mereka sudah tiba. Jelas tak bisa menguhubungi via HP, tak ada sinyal
tak adapula yang punya HP disana.
Sembari
menanti kami mencoba mencari tahu agenda anggota dewan dari petugas
keamanan gedung. Anggota dewan hati ini diagendakan bertemu perwakilan
pedagang Pasar Wage hingga pukul 12. Makin berdetak kencang jantungku,
kalau jam 12 mereka belum dating, pasti anggota dewan sudah tidak ada di
tempat, karena tak ada agenda lain setelah itu. Bayangan aksi yang
gagal telah menyeruak.
Sembari tetap berharap kami tak lelah menanti. Bergelas es the manis dan cilok
menemani penantian kami. Jelang 1 siang tetap tak ada tanda-tanda
kedatangan mereka. Kami putuskan menyerah dan segera bergerak menuju
Cibun mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Sejenak
sebelum motor kami pacu keluar gedung DPRD tiba-tiba sebuah mobil carry
hijau tiba dan Mas Aries, pemuda Cibun yang begitu dekat dengan kami
berteriak memanggil. Hah..tak terkira leganya..akhirnya datang juga.
Kecemasan satu pergi, kecemasan lainnya muncul. Apa masih ada anggota
dewan masih ada yang mau menemui mereka ?
Tak lama keluar dari mobil, Mas Aris, Pak Yanto, Pak Riswandi, Mas Ngabidin berujar bahwa giline kelii,
jambatan hanyut diterjang hujan maalm sebelumnya, hingga hanya mereka
yang sanggup menyeberangi sungai dengan seutas slinglah yang bisa hadir
siang itu, Meleset dari rencana, hanya sembilan warga yang hadir.
Benar
dugaan kami, sebagian besar anggota dewan yang jumlahnya 45 orang itu
sebagian besar telah pergi. Sementara warga menunggu di ruang tunggu
dewan di bawah tatapan curiga petugas keamanan, saya dan dua orang rekan
mencoba melobi seorang anggota dewan dari komisi E yang tersisa. Meski
bukan anggota komisi yang tepat, kami tak mau ambil peduli. Akhirnya Pak
Abas bersedia mendengar keluh kesah warga Cibun. Bukan di ruang komisi
tpai ruang tunggu. Berurai airmata satu persatu warga Cibun yang hadir
mengutarakan kisah mereka, puluhan tahun terpisah. Seolah bukan bagian
bangsa.
Kisah mengenai mimpi hadirnya jembatan permanent, kenangan penuh pedih saat banyak warga yang jatuh dari gili dan kesedihan-kesedihan lain yang puluhan tahun mereka rasakan akahirnya mengalir deras.
Hari itu adalah pangkal dari sejarah baru Cibun dengan segala keterpisahan geografis dan sosilogis mereka.
Hadirnya Sebuah Jembatan Merah..
Bermula
dari “demo” sembilan orang itulah dan beberapa kali kunjungan anggota
dewan akhirnya pemerintah Kabupaten Banyumas dalam APBD perubahan tahun
2004 memutuskan membangun jembatan permanen di Grumbul Cibun.
Saat
pertama kali mendapat kabar bahwa jembatan Cibun akan dibangun
melintasi Kali Logawa, beratus keceriaan hadir, euphoria melanda warga
termasuk juga kami. Sebuah jalan panjang yanga tak mudah telah ditempuh
Warga Cibun. Kemandirian mereka mengupayakan sendiri infrastruktur
menjadi pertimbangan utama pemerintah daerah membangun jembatan itu.
Setelah
melintasi waktu pembangunan yang terbilang cepat, karena tenaga kerja
melibatkan warga lokal yang tentu saja mengerjakannya dengan sepenuh
hati karena inilah impian panjang mereka. Akhir 2004 sebuah jembatan
merah berdiri gagah di atas Kali Logawa.
Jembatan
yang kelak menghadirkan seorang sarjana pertama dari Cibun, sarjana
yang kelak menjadi picu hadirnya sebuah sekolah dasar negeri penuh di
Cibun (sebelumnya hanya SD keil Cibun), jembatan yang kelak membuat
warga bisa “mencicipi” asap knalpot. Jembatan inipula yang kemudian
mendorong warga membangun sebuah masjid, berpuluh anak Cibunpun tak lagi
sulit merengkuh mimpi pendidikan mereka.
Perjuangan
30 tahun lebih warga Cibun inipun membawa mereka meraih penghargaan
“hari Habitat Sedunia” dari pemeirintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2005.
Ironipun hadir..
Enam
tahun setelah hadirnya jembatan itu dan empat tahun setelah saya tak
pernah lagi berkunjung ke Cibun, tepat Juni 2010 lalu, saya kembali
menatapi jembatan merah gagah itu. Sayang cibunpun pelan tapi pasti
berubah, jembatan merah gagah itu ternyata tak hanya berkontribusi
positif namun telah pula membawa ironi.
Setelah
Cibun terbuka, warga tidak hanay berlomba bersekolah tapi juga berlomba
membeli kendaraan bermotor roda dua. Bising knalpot kini terhampar.
Kini, banyak warga yang mulai menjual tanah mereka ke pihak luar Cibun
yang menjadi pertanda kelak mereka akan menjadi petani tanpa lahan.
Aktivitas perambaan hutan juga kian menggejala. Padahal dulu CIbun
adalah garda terakhir bagi keanekaragaman hayati disini.
Ironi
Cibun tak berhenti sampai disana, keterbukaan kian memmbuat banyak
perempuan Cibun yang menjadi buruh migran, hasil dari memburuh di negeri
asingpun di bawa pulang untuk berlomba membangun “istana” di Cibun.
Rokok dan minuman keras telah menjadi “sahabat” pemuda Cibun hari ini.
Tepat
di atas jembatan Cibun, senja itu airmataku menetes, meratapi ironi
jembatan merah gagah itu. Jembatan yang proses kehadirannya kusaksikan
itu..Dulu kami dan warga lupa untuk mempersiapkan mental sebagai
konsekuensi dari keterbukaan geografis dan social itu.
Semoga
Cibun tan menjadi “negeri” yang latah pada perubahan, menjadi tamu di
tanah sendiri, menjadi warga yang kemudian kehilangan jati diri di seret
imaji kebendaan. SEMOGA !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar